Adsense

Welcome in ENDY's weBLOG Crescat Scientia Vita Excolatur

Kamis, 11 September 2008

Terorisme dan Jihad di Bulan Suci

REFLEKSI TRAGEDI 11 SEPTEMBER 2001; Di-coppas dari opini publik Harian Kedaulatan Rakyat oleh: Gugun El-Guyani

HARI
Selasa, 11 September 2001, tragedi kemanusiaan yang dahsyat itu mengguncang dunia. Gedung kembar yang begitu megah bertingkat 110, World Trade Center (WTC�) di New York dan kantor terbesar didunia, Pentagon, di Washington DC luluh lantak dihajar bom. Peristiwa 7 tahun silam itulah yang mengubah peta politik dan ideologi global 180 derajat. WTC adalah lambang kejayaan kapitalisme dan sekaligus dominasi AS dalam ekonomi-keuangan dunia. Sementara Pentagon menjadi lambang kekuasaan militer satu-satunya negara adikuasa di dunia sejak hancurnya Uni Soviet akhir tahun 1980-an. Thomas L Friedman dalam tulisannya di New York Times (13/9/2001) menyatakan, bahwa tindakan teroris ini merupakan kombinasi kejahatan kelas dunia dengan keahlian kelas dunia pula (evil genious), sehingga menimbulkan dampak kerusakan yang sangat dahsyat (J Soedradjat Djiwandono, 2001).



Tragedi kemanusiaan di New York, Amerika Serikat tersebut benar-benar mampu menginspirasi aksi terorisme pada konteks ruang dan waktu yang lebih luas dan jauh ke depan. Aksi teror yang melintas batas dunia, mulai tragedi bom Bali, JW Marriot, Casablanca, Madrid dan Riyadl Arab Saudi. Sudah tak terhitung kembali, berapa ribu jiwa yang teraniaya, berapa ribu manusia yang hidupnya tertekan dalam kegalauan, berapa banyak kerugian materi yang menghambur sia-sia. Apalagi saat itu Washington telah kewalahan dan dinilai gagal menangani dua perang besar yang dipimpinnya di Irak dan Afghanistan. Kekerasan di Irak semakin memakan banyak korban. Sementara di Afghanistan, tentara koalisi pimpinan AS terus melakukan serangan membabi buta yang mengorbankan ratusan rakyat sipil.

Sindroma Aktivis Islam

Dalam konteks ini penulis ingin memfokuskan pada kajian terorisme yang selalu dipandang dan diidentikkan dengan aktivisme Islam. Terlebih� peringatan tujuh tahun tragedi 11 September 2001 bertepatan dengan bulan suci Ramadan, sebagai koridor waktu yang dipertautkan dengan spirit jihad di bulan suci yang disakralkan. Sebagaimana daftar teroris oleh Departemen Pertahanan AS dan PBB yang menyatakan bahwa 80 persennya adalah gerakan Islam. Terlepas dari klaim yang ditudingkan kepada segolongan kaum muslim itu benar atau salah, sebagai kaum muslim dan bangsa Timur yang mengenal tradisi kesantunan, toleran dan anti kekerasan, aksi terorisme di manapun, terutama yang terjadi di tanah air tercinta sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanuisaan.

Fazlur Rahman, seorang guru besar di Chicago University, pernah mengeluarkan statemen bahwa: �masa depan perkembangan Islam di dunia terletak di Indonesia�. Salah satu faktor yang diungkapkan bahwa Islam di Indonesia tidak menunjukkan ekstrimistis. Sebuah argumen yang diperkuat dengan tidak adanya kegiatan-kegiatan Islam yang mengarah pada anarkisme. Di Indonesia juga tidak dijumpai pertentangan pendapat dalam akidah atau politik yang mengarah pada konflik fisik atau kekerasan bersenjata. Dan hal itu berkait dengan proses Islamisasi di masa silam yang tak dilakukan dengan penaklukan dan penyerbuan. Islam di Nusantara kita adalah Islam yang didakwahkan dengan seni kebudayaan, perdagangan dan cara-cara yang penuh kedamaian.

Sayang sekali prediksi Fazlur Rahman tiba-tiba hangus bagai disambar petir setelah enam tahun yang lalu, 12 Oktober 2002 Legian-Bali porak-poranda akibat ulah para teroris. Negeri yang dulu dikenal damai dan senantiasa menebar senyum, kini berubah 180 derajat menjadi kisah tentang tanah air yang sangar dan ditakuti. Dari peristiwa itulah serangkaian teror selalu mengancam setiap ruang dan waktu tanpa kenal lelah.

Youssef M Choueri melihat tumbuhnya gerakan Islam akhir-akhir ini sebagai reaksi langsung terhadap kegagalan implementasi konsep negara bangsa (nation-state pada akhir abad ke-20 yang juga telah menyekulerkan Islam, dalam arti menjadikan Islam hanya sebagai agama ritual. Gerakan-gerakan Islam kemudian muncul untuk kembali menciptakan tatanan dunia yang berdasarkan Islam. Namun gerakan Islam kebanyakan lahir sebagai reaksi, sehingga kemunculannya bersifat spontan. Karena itu pada umumnya mereka tidak memiliki visi, misi, tujuan dan strategi yang jelas.

Jihad di Bulan Suci

Ramadan kali ini semoga bisa menjadi telaga bagi Islam yang haus perdamaian, bagi siapapun yang masih takut dengan hantu terorisme. Ibadah puasa pada momentum bulan Ramadan adalah ibadah yang istimewa di hadapan Allah sendiri. Dalam Hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, �setiap perbuatan baik memperoleh pahala 10-700 kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untukku dan Akulah yang akan langsung menentukan pahalanya�.

Salah satu argumen yang diberikan oleh Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali, ibadah puasa menjadi privelege Allah karena merupakan alat untuk memerangi musuh Allah SWT, yaitu ego manusia yang bekerja lewat nafsu amarah yang tidak semestinya. Juga oleh Rasulullah sendiri, ibadah puasa dipandang lebih berat dari perang manapun yang telah dan mungkin bakal terjadi di dunia ini. �Kita baru� saja kembali dari perang kecil (Badar) dan akan menuju perang yang terbesar, yaitu perang melawan nafsu (puasa)�. Demikian penegasan Nabi di hadapan para prajuritnya.

Sangat tegas dan jelas bahwa justru jihad yang utama dan besar (al-jihad al-akbar) adalah melawan nafsu dan ego diri. Dalam konteks zaman dan kebangsaan seperti ini adalah sebuah keniscayaan bertempur habis-habisan menaklukkan nafsu kebinatangan yang serakah, tamak dan tiran. Penyakit korupsi yang meruntuhkan fondasi kehidupan bangsa, adalah bentuk dari nafsu yang dibiarkan liar tanpa mendapatkan perlawanan. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan karena sesama manusia tak menaruh kepedulian dan kesadaran kemanusiaan (humanity consciousness) yang bersumber dari kesadaran Ketuhanan (God consciousness). Manusia telah terjebak dalam menuruti nafsu amarah yang mementingkan ego dirinya, menumpuk kekayaan pribadi, tak mempunyai kepekaan sosial yang bersikap arogan terhadap sesama. Para penguasa telah kehilangan sense of belongingness dan sense of responsiveness.

Adalah sebuah kewajiban mengutuk setiap kekerasan di bulan suci ini, yang mengatasnamakan jihad dan ibadah. Bulan yang penuh kasih sayang (rahmat), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka (itqun min al-naar) akan menjadi ternoda dengan tindakan-tindakan yang mengancam jiwa kemanusiaan. Maka sebenar-benar jihad� di bulan Ramadan adalah menyantuni saudara kita yang kekurangan, membantu rakyat kecil yang sedang terjepit dengan lonjakan harga BBM, mengatakan benar kepada penguasa ketika bertindak zalim dan mempererat persaudaraan untuk membangun kesatuan ummat (ummatan wahidah_).

Tragedi jihad di bulan suci dengan melakukan penyerbuan beberapa diskotik, tempat-tempat judi, lokalisasi adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam yang memberi kasih sayang kepada semesta (rahmatan lil �alamin). Marilah Ramadan 1429 H kali ini menjadi pijakan awal (stand of beginning) untuk menata umat Islam dan bangsa Indonesia yang sedang mengalami keruntuhan. Tebarkan kasih sayang, maka perubahan akan menyongsong kita semua. q - c. (4447-2008).
*) Gugun El-Guyanie, Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan ((LK3) PW GP Ansor DIY dan Dewan Tanfidziyah Yayasan KODAMA Krapyak Yogyakarta.

Iklan:

0 comments:

Related Posts with Thumbnails