Saat awal masuk kuliah semester 1 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), saya mendapat pertanyaan dari seorang tutor agama Islam yang tidak dapat saya jawab. Pertanyaan itu adalah “Setujukah anda jika kiai berpolitik? Mengapa?”. Entah apa yang saya jawab saat itu, tapi yang jelas saat itu asal saja saya menjawabnya karena saya memang tidak tahu sama sekali.
Setelah bertahun-tahun kemudian (kira-kira 7 tahun) atau tepatnya saat ini, sepertinya saya mendapat ilham untuk menjawab pertanyaan itu. Menurut pendapat saya, tidak masalah jika kiai ingin berpolitik tapi dengan syarat politik yang bersih seperti yang diajarkan oleh rasul. Mungkin anda tidak mengerti maksud saya. Baiklah saya akan mencoba menjelaskannya pada tulisan kali ini.
Kiai boleh saja terjun dalam dunia politik, karena ternyata Rasulullah sendiri juga berpolitik saat berdakwah. Hal ini ditunjukkan saat Rasul berpoligami dalam kehidupannya. Perlu diketahui, bahwa selama kira-kira 28 tahun Rasul bermonogami dengan Siti Kadijja. Setelah beliau hijjra ke Madina, baru beliau berpoligami. Selama ini, kita hanya sering mendengar bahwa alasan rasul berpoligami adalah untuk menolong janda. Padahal tidak hanya itu, beliau berpoligami juga dengan tujuan politik, sayangnya hanya sedikit muslim yang mengetahui hal ini.
Mengapa demikian? Pada zaman dahulu bangsa arab yang terdiri dari berbagai suku itu saling berperang satu dengan lainnya. Hal ini mirip dengan kejadian saat ini. Silahkan anda hidupkan televisi di saluran Dunia Dalam Berita TVRI setiap pukul 21.00 WIB dan anda akan melihat hal itu. Ya, siaran Dunia Dalam Berita saat ini selalu diisi oleh berita bangsa Arab yang sedang dilanda huru-hara. Entah itu bom bunuh diri, penyanderaan tawanan sipil, pembunuhan, penembakan dan lain-lain.
Keadaan ini kira-kira mirip dengan zaman dahulu, namun tentu saja zaman dahulu belum ada bom atau senjata AK-47. Perseteruan ini sangatlah sulit untuk diredam karena tidak adanya orang yang dianggap netral untuk mendamaikan suku-suku tersebut. Semua suku merasa bahwa sukunyalah yang paling benar.
Misalnya, suku A dan suku B yang sedang berperang ingin berdamai dengan juru damai dari suku A, tentu saja suku B tidak mau menerimanya karena khawatir perjanjian damai nantinya hanya akan menguntungkan suku B dan hal ini berlaku juga sebaliknya. Namun jika juru damai didatangkan dari suku di luar suku A dan B (misal suku C), maka suku A yang tidak mau menerimanya karena suku C terkenal dekat dengan suku B dan demikian seterusnya sehingga menyebabkan perang antar suku di Arab sulit untuk diatasi.
Rasul kemudian mendamaikan mereka dengan cara berpoligami. Rasul menikahi wanita dari setiap suku yang ada di Arab sehingga masing-masing suku di arab menganggap Rasul sebagai keluarga mereka. Hal ini menyebabkan posisi Rasul menjadi netral dan bisa mendamaikan suku-suku Arab tersebut. Akibatnya suku-suku di Arab merasa berhutang budi kepada Rasul dan kemudian mengangkatnya sebagai pemimpin. Setelah Rasul menjadi pemimpin, otomatis Rasul menjadi lebih mudah dalam berdakwah.
Berdasarkan cerita di atas maka dapat disimpulkan bahwa berdakwah lewat jalur politik tidak masalah, karena Rasul juga mengajarkannya. Namun tentu saja harus dengan politik yang jujur, bersih dan transparan, sehingga orang-orang non muslim yang melihat kebaikan yang ditunjukkan oleh politisi Islam akan tertarik dan Insya Allah kemudian menjadi pemeluk agama Islam secara sukarela.
Akan tetapi sayangnya fakta politisi Islam di Indonesia justru berbicara sebaliknya. Para politisi ini mengusung agama Islam sebagai komoditas politiknya dan ketika sudah meraih kursi kepemimpinan bukannya menunjukkan praktek politik yang jujur, bersih dan transparan tetapi justru malah melaksanakan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) secara terang-terangan.
Seperti yang dilakukan oleh kiai Gus *** dari Jawa Timur yang setelah menjadi pemimpin bangsa Indonesia malah tersangkut kasus dana non budgeter Bulog atau tokoh agama Mas ***** dari Yogyakarta yang belum sempat menjadi pemimpin tapi sudah tersangkut dana non budgeter DKP. Hal ini tentu saja sungguh memalukan umat muslim di Indonesia pada umumnya.
Senin, 20 Agustus 2007
Kiai Berpolitik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar