Adsense

Welcome in ENDY's weBLOG Crescat Scientia Vita Excolatur

Jumat, 04 Januari 2008

Mengapa DIY harus Istimewa?

Sedikit rangkuman sejarah bagi mereka yang tidak mengerti sejarah (terutama wakil rakyat yang duduk di kursi DPR/MPR terhormat) tentang pentingnya peran DIY pada masa kemerdekaan.

Posting kali ini adalah tulisan ulang dari sebuah artikel berjudul 4 JANUARI 1946, YOGYA IBUKOTA RI; Ketika Indonesia Bergantung pada Yogya di harian Kedaulatan Rakyat (edisi Jumat, 04 Januari 2008) yang ditulis oleh Bapak Haryadi Baskoro SSos MA MHum (Pengamat, Peneliti, Penulis bidang Kebudayaan) dan Bapak Drs Sudomo Sunaryo (mantan Asekwilda I DIY) tentang alasan pentingnya peran DIY pada masa kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan artikel ini, jika saja saat itu DIY tidak serta merta menggabungkan diri dengan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaannya, maka dapat dipastikan sejarah Indonesia akan bercerita lain atau bahkan negara Republik Indonesia ini tidak akan berdiri sama sekali.

Oleh sebab itu, wajar jika Yogyakarta mendapatkan hak keistimewaannya. Namun sayang, para wakil rakyat yang terhormat mungkin hanya sedikit yang memahami sejarah, akibatnya UU keistimewaan DIY terkatung-katung pembahasannya. Bahkan ada wakil rakyat yang mengusulkan untuk menggabungkan propinsi DIY dengan Jawa Tengah.

Saya sebagai Wong Jogja, merasa sedikit tergerak hatinya untuk menyadarkan para wakil rakyat tersebut tentang pentingnya peran propinsi DIY pada masa kemerdekaan Indonesia, namun hanya dengan menulis ulang artikel inilah yang dapat saya lakukan. Akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan posting ini bagi siapa saja yang ingin mengetahui betapa pentingnya peran DIY pada masa kemerdekaan. Intinya Indonesia berhutang banyak pada DIY dan Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono-nya. Berikut ini tulisan ulang dari artikel tersebut, semoga bermanfaat.

"Yogyakarta menjadi termasyur karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu!" (Presiden Soekarno) YOGYAKARTA memainkan peran kunci pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan salah satu (bukan satu-satunya) fondasi bagi terbangunnya republik ini. Hal itu karena "nagari" Yogyakarta sudah ada sebelum RI ada. Belanda sendiri mengakui eksistensi kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut. Karena itu, dukungan Sultan HB IX dan Paku Alam VIII terhadap RI memberi kontribusi sangat besar bagi berdirinya bangsa ini.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, HB IX dan PA VIII mengirimkan telegram via KRT Honggowongso kepada Presiden. Pertama, mengucapkan selamat atas berdirinya RI. Kedua, menyatakan sikap politik untuk bergabung dengan RI dan sebagai pimpinan daerah keduanya akan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Keputusan untuk bergabung dengan RI jelas menunjukkan bahwa HB IX dan PA VIII adalah para pemimpin dari sebuah daerah yang secara politis mempunyai otonomi tersendiri.

Dengan kata lain, seandainya pada waktu itu dwi tunggal ini tidak mau bergabung, sejarah RI akan berbeda. Apalagi, Belanda kemudian memberikan iming-iming kepada HB IX untuk menjadi penguasa atas seluruh Jawa dalam negara baru yang hendak didirikan kembali oleh si penjajah tersebut. Namun, HB IX dan PA VIII sudah berbulat tekad untuk mendukung dan membangun RI. Presiden Soekarno sangat menghargai keputusan itu sehingga memberikan "Piagam Kedudukan" kepada HB IX dan PA VIII.

Piagam itu resmi ditandatangani Presiden pada tanggal 19 Agustus 1945, namun utusan yang membawanya (Menteri Mr Sartono dan Menteri Mr Maramis) baru sampai di Yogyakarta pada tanggal 6 September 1945. Sebelum Piagam itu sampai, HB IX sudah menggerakkan seluruh rakyat Yogyakarta untuk membentuk "Laskar Rakyat" guna mendukung Tentara Keamanan Rakyat. Untuk itu, HB IX mengeluarkan Maklumat No 5 Tanggal 26 Oktober 1945 yang dibaharui dengan Maklumat No 8 Tanggal 7 Desember 1945. HB IX dan PA VIII beserta segenap rakyat Yogyakarta bukan hanya menyatakan bergabung dengan RI, namun secara nyata berjuang untuk tegaknya bangsa Indonesia.

Bagi HB IX, tindakan itu sudah menjadi visinya sebagai seorang Senapati Ing Ngalogo (Panglima Perang). Karena itulah Presiden Soekarno memberi apresiasi sangat tinggi atas perjuangan Yogyakarta. Mengungsi ke Yogya Presiden Soekarno, wakilnya, para menteri dan para tokoh pimpinan nasional RI menaruh kepercayaan dan pengharapan pada Yogyakarta. Ketika itu, situasi sedemikian gawat karena tentara Belanda merajalela dan melancarkan aksi-aksi teror di Jakarta. Sementara itu, pasukan marinir Belanda mendarat di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 dan segera melancarkan aksi-aksinya untuk kembali merebut Indonesia.

Dalam keadaan darurat itu, Bung Karno mengirim kawat kepada HB IX, menanyakan apakah sekiranya Yogyakarta sanggup menerima Pemerintahan RI karena situasi di Jakarta sudah tidak memungkinkan lagi. HB IX menyatakan sanggup dan bahkan segenap rakyat Yogyakarta sanggup untuk membela kewibawaan Pemerintahan RI. Akhirnya, pada tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi Ibukota Republik Indonesia. Pagi-pagi benar, Bung Karno, Bung Hatta, dan segenap kerabat mengungsi ke Yogyakarta. Segenap menteri juga hijrah secara diam-diam ke Yogyakarta.

Namun, Perdana Menteri Sjahrir untuk sementara tetap tinggal di Jakarta. Sejak tanggal itu, Yogyakarta benar-benar memfasilitasi jalannya Pemerintahan RI. Keluarga Bung Karno dan Bung Hatta tinggal sementara di Pura Pakualaman. Putri Bung Karno (Megawati) dan putri Bung Hatta (Mutia Hatta) yang di kemudian hari menjadi para pemimpin, lahir di Yogyakarta. Pihak Kraton Yogya memperbaiki istana Gedung Agung yang waktu itu rusak karena dibom Jepang. Setelah layak dipakai, Bung Karno tinggal di istana kepresidenan tersebut, dan Bung Hatta di dekatnya. Selama masa Pemerintahan RI di Yogyakarta, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan memasuki tahap yang paling menentukan.

Ketika Belanda melakukan agresi (19 Desember 1948), Presiden dan Wakil Presiden ditangkap. HB IX tidak ditangkap dan kelanjutan RI bergantung pada kepemimpinannya. HB IX berpesan kepada Mr Soedarisman Poerwokoesoemo (walikota) bahwa kalau keadaan gawat, serahkan kepada Sultan. Meski kemudian Mr Safruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) ditunjuk untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera, kondisi vakum di Yogyakarta sangat membahayakan eksistensi RI.

Pada waktu itu, HB IX melakukan tindakan paling menentukan. Saat dibujuk dan ditawari Belanda untuk menjadi Wali Negara atas Jawa, HB IX menolak mentah-mentah. Utusan-utusan Belanda yang datang melobi - EM. Stok, Dr Berkhuis, Kolonel Van Langen - ditolak oleh Sultan. Sikap anti kolonial HB IX dan PA VIII didukung penuh rakyat Yogyakarta. Selanjutnya, melalui Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta menjadi penentu tumbuhnya pengakuan internasional atas tegaknya RI. Dalam serangan taktis itu, HB IX adalah aktor intelektualnya. Terhitung dari tanggal 19 Desember 1948 sampai tanggal 30 Juni 1949, perjuangan rakyat Yogyakarta untuk Indonesia telah menjatuhkan korban tewas 2.718 orang, korban luka berat 736 orang, korban hilang 539 orang, serta menghabiskan dana perang sebesar Rp 332.684.450 (Sujamto, 1988, hal 254).

Jangan Lupakan Sejarah! Mungkin, kalau Bung Karno masih hidup, beliau akan mengulangi pernyataannya yang terkenal itu: "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" (Jasmerah). Pada awal berdirinya RI, para pemimpin saat itu sangat menghargai sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah lokal. Buktinya, dalam Undang-Undang Dasar 1945, meskipun disusun dalam keadaan darurat, dibuat dengan sangat memperhitungkan aspek sejarah. Pada pasal 18 UUD 1945, diakui adanya daerah-daerah yang mempunyai susunan asli. Bahkan disebutkan bahwa di Indonesia minimal ada 250 daerah zelfbesturende dan volksgemeenschappen seperti "desa" (Jawa), "nagari" (Mianngkabau), "dusun" dan "marga" (Palembang).

Salah satu faktor mengapa Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta tak kunjung selesai adalah kurangnya apresiasi terhadap sejarah. Bangsa ini telah terbiasa mendistorsi sejarah, sehingga antara "history" dan "his-story" menjadi kabur. Kiranya para pemimpin di negeri ini berbicara jujur tentang sejarah dan menjadikannya pertimbangan penting dalam setiap pengambilan keputusan. Bukannya merekayasa sejarah atau mereduksi sejarah demi kepentingannya sendiri-sendiri!

Iklan:

0 comments:

Related Posts with Thumbnails